Pemulung Sampah menjadi Pemulung uang


                     PEMULUNG SAMPAH
MENJADI PEMULUNG UANG

            Langit kehitam-hitaman berlapiskan awan yang sedikit gelap, disambut suara binatang- binatang malam yang merdu, pertanda malam telah tiba.  Heningnya malam semakin terasa saat ku duduk di depan rumah seorang diri, ku merenungi apa yang setiap hari aku lakukan, tiada yang berbeda dan selalu sama, selama 16 tahun aku hidup di sebuah gubuk kecil bersama ibu dan ayahku yang sejak lama sakit-sakitan.
            Rasa jenuh yang aku pendam tak dapat lagi aku bendung, hal yang selalu sama dalam hidupku membuat aku menjadi anak yang berontak kepada orang tuaku.
            Salah satu penyebab kejenuhan ini adalah faktor ekonomi, maklum saja orang tuaku hanya seorang pemungut sampah di kompleks perumahan elite belakang gubuk kecilku, yang hasilnya hanya cukup untuk kami makan sehari, uang sekolah saja masih nunggak beberapa bulan.
            Hal ini membuat aku malu untuk ke sekolah, aku hanya anak miskin, yang tak punya baju bagus putih bersih, sepatu, dan sepeda motor seperti teman-temanku kebanyakan. Aku ingin seperti mereka, yang hidup serba kecukupan, hal itu sering aku tanyakan pada ibu, namun ia hanya menjawab “iya..... nanti nak, kalau ibu sudah punya uang”, selalu itu dan itu saja yang menjadi jawabnya. Aku tak peduli dengan keduanya, aku hanya ingin ia memenuhi dan menuruti apa yang aku inginkan.
            Karena begitu besarnya cinta ibu padaku, putra semata wayangnya, ia rela mencari barang bekas seorang diri dan meninggalkan ayah yang sedang sakit.
            Dan aku, aku tak peduli dengan laki-laki tua itu, aku merasa kecewa dengannya, yang tak pernah bisa membahagiakan aku dengan menuruti apa yang aku inginkan.
            Aku menyibukan diriku dengan memandangi kendaraan yang hilir mudik melintas di jalan depan gubukku, sampai tak ku sadari, ayah memanggil-manggil namaku, tapi ku tak mendengarnya.
            Setelah sekian lama dan kurasa puas berkhayal memiliki kendaraan bermotor dengan memandangi kendaraan yang melintas di jalan depan rumahku, aku masuk ke rumah untuk meneguk segelas air. Namun aku justru dikagetkan oleh ayahku yang tergeletak di depan tempat tidur beralaskan tikar itu dengan darah yang keluar dari mulutnya karena sakit kanker yang telah lama ia derita, kucoba untuk mengangkatnya untuk kubaringkan lagi di tempat tidurnya, ia terlihat lemas dan pucat, rupanya ia telah pergi untuk selama-lamanya, tanpa kusadari air mata ini menetes membasahi pipi.
            Kutermenung melihat kenyataan ini, namun ku dikejutkan dengan suara ketukan pintu yang sangat keras, rupanya tetanggaku, dengan nafas terisak-isak ia mengabarkan bahwa ibuku meninggal dunia, ia menjai korban tabrak lari. Seketika itu aku tak sadarkan diri mendengar kabar itu.
            Sulit untuk terbayangkan kedua orang tuaku kini telah tiada, aku hanya seorang diri. Namun kini ku sadar betapa penting arti kehadiran mereka dalam hidupku. Tapi kini penyesalan tinggalah penyesalan, karena mereka tidak akan kembali lagi ke dunia fana ini.


            Kulanjutkan hidup ini, kucoba lebih baik dari sebelumnya. Karna ku seorang diri, aku memutuskan untuk sekolah sambil bekerja mencari barang bekas. Berbulan-bulan sudah kujalani hidup seperti ini, kuterus berbenah diri, menjadi lelaki sejati yang berani lewati tantangan hidup ini.
            Satu tahun berlalu, dengan bermodalkan ijazah lulusan SMAN kuberanikan diri melamar pekerjaan di sebuah kafe mewah, walau keraguan sempat melintas di benakku, ku ucapkan ALLAHU AKBAR! ALLAHU AKBAR! ALLAHU AKBAR! AKU BISA!
            Interview telah aku jalani, hari ini adalah pengumuman apakah aku diterima atau tidak, Alhamdulillah aku diterima, walaupun hanya sebagai pelayan aku tidak malu, semua itu aku lakukan supaya aku tetap bisa sekolah, aku ingin dapat kuliah seperti temanku yang lain.
            Hampir satu tahun aku bekerja di kafe ini, susah senang kujalani, mulai dari dimarahin pelanggan, kalau pulang tidak dapat angkot sehingga aku sering jalan kaki. Tapi pengorbanan itu membuahkan hasil aku bisa kuliah dan aku bisa naik jabatan walau hanya dari pelayan menjadi kasir. Tapi itu sudah cukup membuat aku bangga.
            Kali ini aku merasa ada suatu kejanggalan, tidak biasanya teman-temanku yang biasanya begitu ramah menjadi garang kepadaku, seakan-akan menyimpan suatu kebencian padaku, ada apa ini, kenapa semua berubah begitu cepat, tanyaku dalam hati. Tak lama kemudian pak Direkturpun memanggilku untuk ke ruangannya, akupun segera bergegas untuk pergi, kuketuk pintunya dengan sedikit senyum dan hati penuh tanya, ia pun membolehkan aku masuk dan duduk di kursi yang empuk itu.
            Satu amplop terbungkus rapi yang sedikit tebal, ia sodorkan padaku sambil berkata “ini untukmu”, akupun menjawabnya dengan senyum tipis yang mengandung seribu pertanyaan dalam hati. Kubuka amplop itu, ternyata berisi sejumlah uang dan sepucuk surat di kertas putih, kubergegas membacanya dan aku terkejut aku “dipecat”, tanpa sadar aku berkata pada pak direktur “apa salahku?”, namun ia tak menjawabnya, ia hanya mempersilakan aku untuk melanjutkan membaca surat ini.
            Dalam fikiranku masih terbayang-bayang isi surat itu, dalam surat itu dijelaskan bahwa aku telah menyelewengkan uang kafe sebesar sepuluh juta. Itu fitnah …..
            Kini aku kembali ke kehidupanku yang dulu, kutelusuri jalan kota ini dengan hati menggumam “siapa yang telah memfitnahku?”…. ditengah-tengah gumamku tanpa sadar ada seorang laki-laki tua yang meminta bantuanku, ia meminta aku untuk memperbaiki mobilnya yang sedang mogok. Walau sedikit ragu dengan kemampuanku aku mencoba memperbaiki mobil itu, alhamdulillah berhasil. Ia menyodoriku sejumlah uang, tapi kumenolaknya.
            Lalu iamengajakku naik ke mobilnya, ia menunjukkan kepadaku suatu tempat, oh rupanya sebuah bengkel baru yang belum dibuka. Dan yang tak pernah terduga ia meminta aku untuk menjadi direktur di bengkelnya. Alhamdulillah… gumamku, ia benar-benar pahlawanku.
            Setahun sudah aku mengabdi pada bengkel ini, tiba-tiba orang yang aku anggap sebagai pahlawan sekaligus ayah yang sangat aku hormati, kini ia jatuh sakit dan tak lama ia telah dipanggil pada yang kuasa.
            Seminggu setelah itu ada seorang laki-laki yang menemui di bengkel biasa tempat aku bekerja, ternyata ia adalah seorang notaris, ia membawakan seberkas surat wasiat, yang berisikan bahwa bengkel yang ia miliki yang saat ini aku kelola, ia wasiatkan padaku.


Oleh : Nofita Lestari (XI IPA 1)


Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar: