Hanya Ada Satu Sahabat Dalam Hidupku


HANYA ADA SATU SAHABAT  SEJATI DALAM HIDUPKU

                                                                        By: Oktavia Suryani
XIA2

Hari ini perasaan hatiku tak menentu padahal ini hari pertamaku masuk sekolah setelah libur panjang. Aku pikir aku akan merasa senang bisa bertemu dengan sahabat-sahabatku. Tapi apa yang aku pikirkan berbanding terbalik dengan kenyataannya Sepertinya aku baru saja mendengar berita buruk. Berita yang memaksaku untuk selalu memikirkannya sepanjang KBM.
Kata-kata yang aku khawatirkan sejak dulu kini benar-banar terucap. Aku mendengar jelas dari tutur kata salah seorang sahabat dekatku sendiri dan mungkin hanya aku yang diberi tahunya. Dia bilang,“inilah persembahanku yang terakhir untuk sekolahanku”, belum sempat aku menanyakan apa maksud dari pernyataan itu, dia keburu pergi untuk menyelesaikan suatu urusannya. Aku syok, aku hanya duduk terdiam sambil menundukkan kepala di sebuah bangku yang terletak tidak jauh dari pintu masuk kelas dan berharap dia kembali menemuiku untuk menceritakan permasalahan yang sebenarnya. Pikiranku saat itu benar-benar kacau, antara percaya dan tidak. Karena sebelumnya dia tidak pernah berkata serius kepadaku. “Perpisahan-Perpisahan-perpisahan,” kata-kata itu selalu menghantui pikiranku. aku masih terdiam, aku tak mau mengangkat kepalaku dan aku tak ingin seorangpun tahu aku menangis dalam diamku.
Ya.. dia benar-benar datang kembali menemuiku , tapi aku tak berani melihatnya dengan hidung merah dan wajahku yang sembab.  Dia bertanya,”gimana ?.” aku hanya diam menundukkan kepala. “Hai,” sapanya untuk memanggilku yang hanya diam saja dari tadi. Aku mulai menengok kepadanya yang duduk disampingku sambil bertanya,”apakah itu benar?”. Mungkin dia sudah tahu apa maksud dari pertanyaanku itu. “itu belum tentu benar, aku hanya minta solusimu saja,” katanya untuk menenangkan pikiranku yang tidak karuan. Aku bertanya lagi,”sebenarnya apa masalahmu hingga memutuskan untuk pindah sekolah?”. “banyak aku tidak bisa menceritakannya,” jawabnya. Aku juga tak bisa memaksanya untuk menceritakannya padaku karena aku tahu kehidupan pribadinya tak ingin diketahui orang lain walaupun itu sahabatnya sendiri. aku mencoba megerti, “ kalau itu memang terbaik untukmu aku akan mendukung keputusanmu,” kataku dengan berat hati.
Aku tidak menyangka pembicaraanku yang singkat dengannya merupakan pertemuanku terakhir aku dengannya. Sejak saat itu aku tak pernah melihatnya lagi di sekolahan ini dan lost contact beberapa bulan ini. Sekarang hari-hariku disibukkan dengan organisasi-organisasi sekolah yang jabatanku sebagai sekretaris OSIS.  Memang berat tapi ini kenyataan yang harus aku jalani. Semua canda, tawanya kini telah sirna hanya bayangannya yang membekas dalam anganku.***
Setahun berlalu, inilah aku seorang pelajar SMA yang sudah kelas 3. aku mulai serius mengejar masa depanku. Orang tuaku meberikan banyak pilihan tentang jurusan yang harus aku pilih, tapi semua keputusan ada di tanganku. Masa Ujian Nasionalpun tiba. Dan bekarkat kerja keras dan do’a semua orang yang menyayangiku akhirnya aku lulus dengan nilai yang cukup baik. Aku diterima disebuah perguruan tinggi negeri sebagai mahasiswa tehnik jurusan computer dan jaringan. Hari pertamaku masuk kuliah ada seorang laki-laki yang memakai kacamata, tinggi, putih, dan memakai jam hitam ditangan kirinya. Wajahnya tidak asing lagi. Aku terus memperhatikannya dari jauh. Dia mengingatkanku pada sahabatku sewaktu SMA. “Ah.. Mungkin hanya persaanku saja,” kataku dalam hati. Aku tak begitu menghiraukannya lagi. Ketika aku duduk sambil membaca buku mata kuliah hari ini di taman kampus, ada suara seorang laki-laki disampingku. “sekarang kamu kuliah disini ya?,” dengan suara yang lirih persis saat sahabatku mengucapkan kata-kata perpisahan padaku sewaktu SMA dulu. Aku berhenti sejenak membaca sambil meletakkan buku itu diatas pangkuanku. Aku melihat seseorng yang berada disampingku, “ orang ini orang yang tadi, sebenarnya siapa dia?,” kataku dalam hati. “hai kok bengong,” katanya kepadaku. Sikapnya membuatku yakin kalau dia sahabatku sewaktu SMA, sa’at dia mengelus kepalaku dan berkata ,” dasar anak kecil”. Persis yang dilakukannya dulu. Aku semakin yakin lagi sa’at dia bilang, “masih ingat aku aku sahabatmu yang kamu tangisi saat aku pindah sekolah”. Tuhan memang begitu adil, mempertemukaan aku kembali dengan sahabatku yang terpisah lama.


Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar: