kau adalah sahabatku teman pelipur laraku
bersamamu aku bisa ber bagi
cerita indah
cerita tentang kegagalanku dan dengan mu pula aku bisa tuangkan segala keluh kesahku..
sahabat…
saat kau sedih aku menangis
saat kau terluka hatiku tercabik
saat kau gundah aku selalu resah
Langit kehitam-hitaman berlapiskan awan yang sedikit gelap, disambut suara binatang- binatang malam yang merdu, pertanda malam telah tiba. Heningnya malam semakin terasa saat ku duduk di depan rumah seorang diri, ku merenungi apa yang setiap hari aku lakukan, tiada yang berbeda dan selalu sama, selama 16 tahun aku hidup di sebuah gubuk kecil bersama ibu dan ayahku yang sejak lama sakit-sakitan.
Rasa jenuh yang aku pendam tak dapat lagi aku bendung, hal yang selalu sama dalam hidupku membuat aku menjadi anak yang berontak kepada orang tuaku.
Salah satu penyebab kejenuhan ini adalah faktor ekonomi, maklum saja orang tuaku hanya seorang pemungut sampah di kompleks perumahan elite belakang gubuk kecilku, yang hasilnya hanya cukup untuk kami makan sehari, uang sekolah saja masih nunggak beberapa bulan.
Hal ini membuat aku malu untuk ke sekolah, aku hanya anak miskin, yang tak punya bajubagus putih bersih, sepatu, dan sepeda motor seperti teman-temanku kebanyakan. Aku ingin seperti mereka, yang hidup serba kecukupan, hal itu sering aku tanyakan pada ibu, namun ia hanya menjawab “iya..... nanti nak, kalau ibu sudah punya uang”, selalu itu dan itu saja yang menjadi jawabnya. Aku tak peduli dengan keduanya, aku hanya ingin ia memenuhi dan menuruti apa yang aku inginkan.
Karena begitu besarnya cinta ibu padaku, putra semata wayangnya, ia rela mencari barang bekas seorang diri dan meninggalkan ayah yang sedang sakit.
Dan aku, aku tak peduli dengan laki-laki tua itu, aku merasa kecewa dengannya, yang tak pernah bisa membahagiakan aku dengan menuruti apa yang aku inginkan.
Aku menyibukan diriku dengan memandangi kendaraan yang hilir mudik melintas di jalan depan gubukku, sampai tak ku sadari, ayah memanggil-manggil namaku, tapi ku tak mendengarnya.
Setelah sekian lama dan kurasa puas berkhayal memiliki kendaraan bermotor dengan memandangi kendaraan yang melintas di jalan depan rumahku, aku masuk ke rumah untuk meneguk segelas air. Namun aku justru dikagetkan oleh ayahku yang tergeletak di depan tempat tidur beralaskan tikar itu dengan darah yang keluar dari mulutnya karena sakit kanker yang telah lama ia derita, kucoba untuk mengangkatnya untuk kubaringkan lagi di tempat tidurnya, ia terlihat lemas dan pucat, rupanya ia telah pergi untuk selama-lamanya, tanpa kusadari air mata ini menetes membasahi pipi.
Kutermenung melihat kenyataan ini, namun ku dikejutkan dengan suara ketukan pintu yang sangat keras, rupanya tetanggaku, dengan nafas terisak-isak ia mengabarkan bahwa ibuku meninggal dunia, ia menjai korban tabrak lari. Seketika itu aku tak sadarkan diri mendengar kabar itu.
Sulit untuk terbayangkan kedua orang tuaku kini telah tiada, aku hanya seorang diri. Namun kini ku sadar betapa penting arti kehadiran mereka dalam hidupku. Tapi kini penyesalan tinggalah penyesalan, karena mereka tidak akan kembali lagi ke dunia fana ini.
Kulanjutkan hidup ini, kucoba lebih baik dari sebelumnya. Karna ku seorang diri, aku memutuskan untuk sekolah sambil bekerja mencari barang bekas. Berbulan-bulan sudah kujalani hidup seperti ini, kuterus berbenah diri, menjadi lelaki sejati yang berani lewati tantangan hidup ini.
Satu tahun berlalu, dengan bermodalkan ijazah lulusan SMAN kuberanikan diri melamar pekerjaan di sebuah kafe mewah, walau keraguan sempat melintas di benakku, ku ucapkan ALLAHU AKBAR! ALLAHU AKBAR! ALLAHU AKBAR! AKU BISA!
Interview telah aku jalani, hari ini adalah pengumuman apakah aku diterima atau tidak, Alhamdulillah aku diterima, walaupun hanya sebagai pelayan aku tidak malu, semua itu aku lakukan supaya aku tetap bisa sekolah, aku ingin dapat kuliah seperti temanku yang lain.
Hampir satu tahun aku bekerja di kafe ini, susah senang kujalani, mulai dari dimarahin pelanggan, kalau pulang tidak dapat angkot sehingga aku sering jalan kaki. Tapi pengorbanan itu membuahkan hasil aku bisa kuliah dan aku bisa naik jabatan walau hanya dari pelayan menjadi kasir. Tapi itu sudah cukup membuat aku bangga.
Kali ini aku merasa ada suatu kejanggalan, tidak biasanya teman-temanku yang biasanya begitu ramah menjadi garang kepadaku, seakan-akan menyimpan suatu kebencian padaku, ada apa ini, kenapa semua berubah begitu cepat, tanyaku dalam hati. Tak lama kemudian pak Direkturpun memanggilku untuk ke ruangannya, akupun segera bergegas untuk pergi, kuketuk pintunya dengan sedikit senyum dan hati penuh tanya, ia pun membolehkan aku masuk dan duduk di kursi yang empuk itu.
Satu amplop terbungkus rapi yang sedikit tebal, ia sodorkan padaku sambil berkata “ini untukmu”, akupun menjawabnya dengan senyum tipis yang mengandung seribu pertanyaan dalam hati. Kubuka amplop itu, ternyata berisi sejumlah uang dan sepucuk surat di kertas putih, kubergegas membacanya dan aku terkejut aku “dipecat”, tanpa sadar aku berkata pada pak direktur “apa salahku?”, namun ia tak menjawabnya, ia hanya mempersilakan aku untuk melanjutkan membaca surat ini.
Dalam fikiranku masih terbayang-bayang isi surat itu, dalam surat itu dijelaskan bahwa aku telah menyelewengkan uang kafe sebesar sepuluh juta. Itu fitnah …..
Kini aku kembali ke kehidupanku yang dulu, kutelusuri jalan kota ini dengan hati menggumam “siapa yang telah memfitnahku?”…. ditengah-tengah gumamku tanpa sadar ada seorang laki-laki tua yang meminta bantuanku, ia meminta aku untuk memperbaiki mobilnya yang sedang mogok. Walau sedikit ragu dengan kemampuanku aku mencoba memperbaiki mobil itu, alhamdulillah berhasil. Ia menyodoriku sejumlah uang, tapi kumenolaknya.
Lalu iamengajakku naik ke mobilnya, ia menunjukkan kepadaku suatu tempat, oh rupanya sebuah bengkel baru yang belum dibuka. Dan yang tak pernah terduga ia meminta aku untuk menjadi direktur di bengkelnya. Alhamdulillah… gumamku, ia benar-benar pahlawanku.
Setahun sudah aku mengabdi pada bengkel ini, tiba-tiba orang yang aku anggap sebagai pahlawan sekaligus ayah yang sangat aku hormati, kini ia jatuh sakit dan tak lama ia telah dipanggil pada yang kuasa.
Seminggu setelah itu ada seorang laki-laki yang menemui di bengkel biasa tempat aku bekerja, ternyata ia adalah seorang notaris, ia membawakan seberkas surat wasiat, yang berisikan bahwa bengkel yang ia miliki yang saat ini aku kelola, ia wasiatkan padaku.
Minggu 21 Agustus 2009 itulah hari pertemuanku dengan Saso. Dia adalah sesosok remaja tulen menurutku dulu, tapi sekarang dia berubah 180 derajat, lebih cool abis dari remaja lainnya. Aku kenal Saso sejak kelas X semester dua, di bawah pring kuning dekat tempat sampah. Dia melihatku seperti melihat cewek, melirik sebelah mata dengan penuh konsentrasi, tapi itu cuman sekedar salam perkenalan.
Setelah waktu berjalan dan seiring kenaikan kelas XI, aku semakin kenal dan semakin akrab, apalagi kini Saso satu kelas dengan aku, yaitu dikelas “GREENADA”. Itulah sebutan nama kelasku yang berlambang daun dan bernuansa kartun remaja. Bersama temanku Brian. Brian ini juga temanku sejak kelas X, aku kenal Brian sejak masih SMP dulu, kini aku dan Brian selalu bersama-sama sama termasuk Saso. “Kesempatan jadi ketua OSIS itu terbayang-bayang dihati kecil Saso”, ketika Waka Kesiswaan mengumumkan ketua OSIS yang lama akan diganti.
“Sebuah prinsip dan tujuan itu bisa tercapai jika kita sungguh-sungguh”, kata Brian sambil berdiri di bawah pohon mangga. Aku, Brian dan Saso selalu dan pasti ngobrol bersama sepulang sekolah ditaman bacaan Ibnusina dekat lapangan merdeka Paron. Kami selalu membahas organisasi yang ada di sekola kami. “Rasa penasaran” siapa ya..? yang menjadi ketua OSIS di sekolah kita, tahun ini…! Pasti aku Bri, “kata Saso sambil bergurau dengan mbak Dwi penjaga taman bacaan. Jangan GR dek, tapi kalau kamu yakin dan kamu bisa ngapain, nggak! Dan mbak cuman bisa bantu do’a saja,”ulas mbak Dwi dengan ramah”. Setelah mbak Dwi berbicara hal itu, hati kecil Saso terbuka dan penasaran, “Berani ngaknya, menjadi ketua OSIS?... hujan turun gerimis dengan suasana mendung dan sedikit angin serta kilatan petir yang menyambar, kami memutuskan untuk pulang, karena hujan semakin deras dan angin semakin kencang, kami singgah didekat pasar itu, adzanpun berkumandang serentak sholat berjama’ah membuat angan-angan Saso menjadi ketua OSIS nampak di depan mata, lantunan do’a suci memperkuat angan-angan tersebut.
Setelah kami sholat, karena hujan belum reda kami memutuskan untuk duduk-duduk diteras masjid, sambil membahas angan-angan Saso menjadi ketua OSIS. He..! gimana nih..! masak aku jadi ketua OSIS?? Kan ada yang lebih bagus dari aku, “ungkap Saso pelan”. Kamu jangan minder, kamu harus optimis bahwa bisa menjadi pemimpin. Aku, dan bahkan teman-teman yakin bahwa,”KAMU PASTI BISA” menjadi ketua OSIS. Waktu semakin sore, kami nekat untuk pualang, meskipun basah kuyup yang penting selamat.
Beberapa hari kemudian tepatnya tanggal 15 September 2010 dan seiring masuk pertama bulan Sawal, “waka kesiswaan” mengadakan halal bi halal yang diikuti semua siswa. Setelah halal bihalal, orasi calon ketua OSISpun dimulai. Siapa yang mau menjadi ketua OSIS periode 2010-2011??,”ungkap waka kesiswaan dengan mikrofon. Dengan keyakinan yang tinggi, remaja kelahiran Ngawi, 1 April 1993, dengan nama lengkap “Nur Muhammad Sahid Solaiman, langsung mendekati mimbar Orasi, dengan semangat dan optimisnya yang tinggi, Saso menyebutkan bahwa “akulah SASO, sesosok remaja berjengot”, yang akan membawa sekolah ini lebih maju dan berprestasi. Oplos audientpun membuat semangat Saso tambah positif. Pada hari itu juga pemilihan ketua OSIS yang diikuti 6 kandidat dilaksanakan, termasuk Saso. Pukul 11.00 WIB,” waka kesiswaan” mengumumkan, bahwa pemilihan ketua OSIS periode 2010/2011 dimenangkan oleh “Saso Jenggot” rasa tak mungkin itu membuat teman-teman Saso mengucapkan selamat kepada Saso yang sebelumnya tidak pernah menjadi anggota OSIS, tapi hanya ALLAH yang tahu! Dan yang lebih serprais Saso mentraktir teman-temannya di warung mie ceker Pak JOJON.
Cerpen ini sangatlah nyata dan benar-benar terjadi!!
Hari ini perasaan hatiku tak menentu padahal ini hari pertamaku masuk sekolah setelah libur panjang. Aku pikir aku akan merasa senang bisa bertemu dengan sahabat-sahabatku. Tapi apa yang aku pikirkan berbanding terbalik dengan kenyataannya Sepertinya aku baru saja mendengar berita buruk. Berita yang memaksaku untuk selalu memikirkannya sepanjang KBM.
Kata-kata yang aku khawatirkan sejak dulu kini benar-banar terucap. Aku mendengar jelas dari tutur kata salah seorang sahabat dekatku sendiri dan mungkin hanya aku yang diberi tahunya. Dia bilang,“inilah persembahanku yang terakhir untuk sekolahanku”, belum sempat aku menanyakan apa maksud dari pernyataan itu, dia keburu pergi untuk menyelesaikan suatu urusannya. Aku syok, aku hanya duduk terdiam sambil menundukkan kepala di sebuah bangku yang terletak tidak jauh dari pintu masuk kelas dan berharap dia kembali menemuiku untuk menceritakan permasalahan yang sebenarnya. Pikiranku saat itu benar-benar kacau, antara percaya dan tidak. Karena sebelumnya dia tidak pernah berkata serius kepadaku. “Perpisahan-Perpisahan-perpisahan,” kata-kata itu selalu menghantui pikiranku. aku masih terdiam, aku tak mau mengangkat kepalaku dan aku tak ingin seorangpun tahu aku menangis dalam diamku.
Ya.. dia benar-benar datang kembali menemuiku , tapi aku tak berani melihatnya dengan hidung merah dan wajahku yang sembab. Dia bertanya,”gimana ?.” aku hanya diam menundukkan kepala. “Hai,” sapanya untuk memanggilku yang hanya diam saja dari tadi. Aku mulai menengok kepadanya yang duduk disampingku sambil bertanya,”apakah itu benar?”. Mungkin dia sudah tahu apa maksud dari pertanyaanku itu. “itu belum tentu benar, aku hanya minta solusimu saja,” katanya untuk menenangkan pikiranku yang tidak karuan. Aku bertanya lagi,”sebenarnya apa masalahmu hingga memutuskan untuk pindah sekolah?”. “banyak aku tidak bisa menceritakannya,” jawabnya. Aku juga tak bisa memaksanya untuk menceritakannya padaku karena aku tahu kehidupan pribadinya tak ingin diketahui orang lain walaupun itu sahabatnya sendiri. aku mencoba megerti, “ kalau itu memang terbaik untukmu aku akan mendukung keputusanmu,” kataku dengan berat hati.
Aku tidak menyangka pembicaraanku yang singkat dengannya merupakan pertemuanku terakhir aku dengannya. Sejak saat itu aku tak pernah melihatnya lagi di sekolahan ini dan lost contact beberapa bulan ini. Sekarang hari-hariku disibukkan dengan organisasi-organisasi sekolah yang jabatanku sebagai sekretaris OSIS. Memang berat tapi ini kenyataan yang harus aku jalani. Semua canda, tawanya kini telah sirna hanya bayangannya yang membekas dalam anganku.***
Setahun berlalu, inilah aku seorang pelajar SMA yang sudah kelas 3. aku mulai serius mengejar masa depanku. Orang tuaku meberikan banyak pilihan tentang jurusan yang harus aku pilih, tapi semua keputusan ada di tanganku. Masa Ujian Nasionalpun tiba. Dan bekarkat kerja keras dan do’a semua orang yang menyayangiku akhirnya aku lulus dengan nilai yang cukup baik. Aku diterima disebuah perguruan tinggi negeri sebagai mahasiswa tehnik jurusan computer dan jaringan. Hari pertamaku masuk kuliah ada seorang laki-laki yang memakai kacamata, tinggi, putih, dan memakai jam hitam ditangan kirinya. Wajahnya tidak asing lagi. Aku terus memperhatikannya dari jauh. Dia mengingatkanku pada sahabatku sewaktu SMA. “Ah.. Mungkin hanya persaanku saja,” kataku dalam hati. Aku tak begitu menghiraukannya lagi. Ketika aku duduk sambil membaca buku mata kuliah hari ini di taman kampus, ada suara seorang laki-laki disampingku. “sekarang kamu kuliah disini ya?,” dengan suara yang lirih persis saat sahabatku mengucapkan kata-kata perpisahan padaku sewaktu SMA dulu. Aku berhenti sejenak membaca sambil meletakkan buku itu diatas pangkuanku. Aku melihat seseorng yang berada disampingku, “ orang ini orang yang tadi, sebenarnya siapa dia?,” kataku dalam hati. “hai kok bengong,” katanya kepadaku. Sikapnya membuatku yakin kalau dia sahabatku sewaktu SMA, sa’at dia mengelus kepalaku dan berkata ,” dasar anak kecil”. Persis yang dilakukannya dulu. Aku semakin yakin lagi sa’at dia bilang, “masih ingat aku aku sahabatmu yang kamu tangisi saat aku pindah sekolah”. Tuhan memang begitu adil, mempertemukaan aku kembali dengan sahabatku yang terpisah lama.