Remaja Xeroderma Pigmentosum


REMAJA XERODERMA PIGMENTOSUM

Krieng..krieng..jam bekcer ku berbunyi, menunjukkan pukul 20.00. Aku membuka selimutku dengan mata yang masih sedikit terpejam, aku  duduk sejenak bersandar di atas tempat tidurku. Rasanya malam ini begitu dingin tak seperti malam-malam biasanya. Aku mulai berjalan menuju jendela kamarku yang menjadi tempat faforitku diantara yang lainnya.  “Brem..brem..brem,” dari kejauhan aku melihat seorang laki-laki mengendarai scooter putih dan menyelipkan papan surfing di samping scooternya. Dia selalu duduk sejenak sambil minum sebotol POSCARI SWEET di halte depan rumahku. Walau hanya sebatas melihatnya dari jendela kamarku aku selalu tersenyum ketika melihatnya.
“Aku yang memikirkan namun aku tak banyak berharap kau membuat waktuku tersita dengan angan tentangmu… Mencoba lupakan tapiku tak bisa mengapa begini… oh.. mungkin aku bermimpi menginginkan dirimu untuk ada disini menemaiku, oh.. mungkin  kau kah yang jadi kekasih sejatiku, semoga tak sekedar harapku”,  penggalan lagu Monita ini menggambarkan perasaanku pada  waktu itu.
“Dia.. apakah hanya sebatas anganku saja??”, kataku dalam hati yang  tak mungkin aku menggapainya. Perbedaan kita terlalu jauh, dia menggemari surfing yang identik dengan siang, sedangkan aku hanyalah remaja lemah yang seperti seekor kelelawar.
Juni..!!!,”Suara ibu memanggilku”. “Ayo.. Makan dulu”. “Ya..Bu, bentar,” jawabku sambil menutup gorden jendela. Makan malam ini begitu sepi, hanya ada ayah dan Ibu yang menemaniku, biasanya temanku Dinda sering ke sini untuk makan malam sambil mencerita kejadian-kejadian yang lucu di sekolahanya. “Bu aku berangkat dulu”, kataku berpamitan kepada ibu setelah makan malam. “Ya.. hati-hati”. Aku berangkat menuju sebuah taman yang letaknya tidak jauh dari rumahku dengan membawa peti gitarku. Beginilah kegiatanku setiap malam tak seperti remaja yang normal lainnya. Hanya di tempat ini lah aku merasakan semilir angin kehidupan yang membuatku bisa bertahan sampai sekarang. Aku mengeluarkan sebuah gitar, di bawah cahaya bulan aku   mulai melantukan syair-syair lagu yang aku ciptakan. Sepenggal syair lagu itu berbunyi:

aku ingin selalu tersenyum, walaupun bumi ini berhenti berputar aku akan selalu tersenyum, walaupun aku tak bisa melihat hari esok lagi aku akan selalu tersenyum, dan aku akan menghadapi ini semua dengan sebuah senyuman”.

Tempat ini begitu sepi, hanya terdengar suara gitar yang aku petik dan lagu yang aku lantunkan. Tanpa sadar malam begitu larut. aku berkemas untuk pulang. Dalam perjalananku pulang, entah perasaan apa yang membawaku untuk menduduki sebuah halte. Rasanya Tuhan sudah merencanakan ini untukku. Seorang laki-laki yang hanya bisa aku lihat lewat jendela rumahku kini ada di depan mataku. “Dia..”, kataku yang tak percaya akan bertemu dengannya. “Hai”, sapanya kepadaku. Aku membalasnya dengan sebuah senyuman. “Sepertinya aku belum pernah melihat kamu sebelumnya disekitar sini, perkenalkan namaku Angga?”, katanya kepadaku. “Juni, namaku Juni, Hajimemashite Angga!!, jawabku dengan logat jepangku. Pada saat itu terjadi obrolan  yang mengakrapkan kami. Dan pada akhirnya kami bersahabat.
***
            Tak lama persahabatanku dengannya. Aku mengirimkan sepucuk surat.

To: Angga

          Takkan selamanya tanganku mendekapmu..,
Takkan selamanya raga ini menjagamu…
Seperti alunan detak jantungku tak bertahan melawan waktu..
Dan semua keidahan yang memudar atau cinta yang telah hilang..
Tak ada yang abadi…tak ada yang abadi …tak ada yang abadi…
                                                                   
                                                                             From: Juni

             



Mungkin di Halte itulah pertemuan pertama dan terakhirku yang menyimpan kenangan tersendiri untukku. Dan dengan sepucuk surat, aku mengucapkan perpisahan terakhirku. Tubuhku kini telah terbujur tak berdaya dalam sebuah peti kerena penyakit xeroderma pigmentosum yang aku derita. Penyakit ini membuatku tak bisa merasakan begitu hangatnya sinar matahari kerena sedikit sinarnya mengenai tubuhku akan barakibat vatal pada organ tubuhku. Itu sebabnya aku hanya bisa keluar waktu malam. Ingin rasanya aku hidup lebih lama, melihat indahnya alam dibawah sinar sang surya tapi apalah dayaku yang tak bisa melawan takdir.  Memang tak ada yang abadi di dunia ini semua akan kembali pada pemilik-Nya tapi setidaknya aku memiliki orang-orang-orang yang menyayangiku.

"Oktavia Suryani"




Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar: